Isi Khutbah Idul Fitri 1444 H Prof. Dr. H. Ansari Yamamah, MA : “TINGKATKAN IMAN DAN TAQWA UNTUK MEMPERKUAT ELEGANITAS RELASI SOSIAL MASYARAKAT SUMATERA UTARA ”
Sebagai makhluk yang dibebani taklif atau cakap hukum, kita adalah anak manusia yang lemah dan tempat salah dan khilaf. Oleh karena itu, maka kita semua punya potensi untuk jatuh, kita semua punya kemungkinan untuk melanggar larangan Allah SWT, melupakan janji-janji kita denganNya, dan akibatnya kita pula terjebak dalam pengkhianatan kepada nilai-nilai ketuhanan dan pengkhianatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Manusia yang dulu dilahirkan dalam keadaan fitrah, suci, dan dalam keadaan bahagia hidup di surga (paradiso) kini telah menjelma mejadi individu-individu yang “mabuk” melanggar larangan Allah, dan menjadi manusia-manusia yang jatuh dan hidup dalam kehinaan, kezholiman, kenistaan, keserakahan dan kemunafikan (inferno). Oleh karena itulah bulan Ramadhan datang menawarkan suatu alam pensucian (purgatorio) sehingga pada 1 syawal ini kita kembali memasuki alam paradiso, suci sebagaimana pertama kali ketika kita saat dilahirkan kemuka bumi ini.

Kaum Muslimin sidang ’Idul Fitri rahimakumullah, oleh karena itu Alquran al-Karim menyatakan bahwa puncak kesucian prestasi spiritual seorang yang beriman akan terlihat ketika ia menundukkan dirinya kepada komitmen ketuhanan dan komitmen kemanusiaan, dan inilah yang disebut dengan taqwa, sebagaimana disebutkan oleh Allah di dalam surah al-Hujurat ayat 13:
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
Artinya: Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti. (Q.S 49 / al-Hujurat 13)
Adapun tujuan utama (ultimate goal) puasa Ramadan adalah terciptanya manusia yang beriman dan bertaqwa yang bukan hanya berdimensi individualist dan ukhrawi semata, akan tetapi sangat terkait dengan keseimbangan antara kehidupan sosial kemasyarakatan dengan berbagai kepentingan duniawi yang mana setiap individu memiliki kecerdasan untuk membagi dan mendistribusikan empati dan solidaritas sosial dalam menata sebuah kehidupan yang mempunya ruh ketuhanan sekaligus berkelindan dengan ruh kemanusiaan, baik dalam kontek bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara. Hal ini dikarenakan bahwa dalam kenyataannya unsur ruhanilah yang paling banyak memberikan support bagi tegaknya nilai-nilai kemanusiaan seseorang dalam menjalankan peran-peran kekhalifahannya baik dalam bentuk struktural maupun fungsional. Sedangkan kegagalan dan kehancuran adalah dikarenakan kotoran-kotoran yang membaluti jiwanya sehingga ia tidak mendapatkan pencerahan dalam menjalankan peran sebagai khalifah Allah di muka bumi ini. Fakta ini telah disebutkan oleh Allah dalam surah As-Syam ayat 9 dan 10, yang berbunyi:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاها وَقَدْ خابَ مَنْ دَسَّاها
Artinya: ”Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya” (Q.S 91 / as-Syam: 9-10).
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahilhamd
Kaum muslimin dan muslimat rahimakumullah
Di dalam surah al-Imran ayat 133 Allah menegaskan:
وَسَارِعُوۡۤا اِلٰى مَغۡفِرَةٍ مِّنۡ رَّبِّكُمۡ وَجَنَّةٍ عَرۡضُهَا السَّمٰوٰتُ وَالۡاَرۡضُۙ اُعِدَّتۡ لِلۡمُتَّقِيۡنَۙ
Artinya: Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu untuk mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang sengaja disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.
Di ayat selanjutnya Allah menyatakan:
لَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ فِى السَّرَّۤاءِ وَالضَّرَّۤاءِ وَالْكَاظِمِيْنَ الْغَيْظَ وَالْعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِۗ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَۚ
Artinya: “(yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan”.
Jika dilihat secara lebih luas ayat ini sesungguhnya menegaskan bahwa orang-orang yang beriman dan bertaqwa itu paling tidak memiliki tiga karakter atau sifat kemanusiaan, yang pertama adalah bahwa mereka mempunyai karakter sebagai pemberi, bukan sebagai peminta. Orang-orang yang memiliki sifat suka memberi adalah mereka yang selalu berusaha untuk melakukan sesuatu yang produktif, dan dengan produktivitas yang tinggi ia akan menghasilkan sesuatu atau rezeki yang lebih banyak sehingga dia akan menjadi sangat berbahagia bila ia dapat memberikan sesuatu atau sebagian rezekinya untuk orang lain, kaum fuqara wal masakin serta anak-anak yatim dan anak-anak terlantar. Orang-orang yang berkarater pemberi inilah yang dikatakan oleh Baginda Rasulullah SAW sebagai orang-orang memiliki tangan-tangan yang mulia, sementara orang-orang yang berkarakter peminta akan memiliki sifat-sifat yang lemah, rendah dan bahkan terhinakan.
Oleh karena itulah Allah menyatakan bahwa Ia suka kepada siapa saja yang berbuat baik dan suka berbagi, karena dengan sifat suka berbagi, suka menolong dan mengapresiasi orang lain, terutama kepada kaum faqir dan miskin, anak yatim dan orang-orang termarjinalkan inilah akan terbangun sebuah ruh kehidupan yang berbalut cinta, kasih sayang dan persatuan sehingga melahirkan sebuah ikatan sosial yang kuat (bound of civility) sebagai bentuk dari sebuah masyarakat madani yang dicitakan-citakan dalam Peradaban Islam.
Baginda Rasullah SAW menyatakan bahwa tidak sempurna iman seseorang jika ia tidak menyayangi saudaranya sebagaimana ia menyayangi dirinya sendiri. Dan dalam hadis yang lain Baginda Rasulullah SAW juga menegaskan bahwa tidak sempurna iman seseorang jika ia tidur dalam keadaan kenyang sementara tetangganya tidur dalam kelaparan.
Ketika Allah menyebutkan kriteria orang yang benar, jujur, derdisiplin, beriman dan bertaqwa ternyata keseimbanga antara kesalehan individual berbarengan dengan tuntutan untuk melakukan kesalehan sosial, seperti dalam bentuk pendistribusian zakat, infak sedekah kepada fakir miskin, anak yatim dan kelompok du’afa lainnya. Oleh sebab itu bahwa berbuat baik kepada manusia, khususnya orang termiskinkan baik secara struktural maupun termiskinkan oleh kelemahan mereka, adalah merupakan suatu perbuatan yang setingkat kualitas kewajibannya di bawah kewajiban ibadah mahdoh kepada Allah SWT. Maka oleh karena itu, akan hinalah dalam ”pandangan akhirat’ siapa saja yang tidak melakukan kebaikan terhadap umat manusia, khususnya terhadap mereka yang tertindas (musthadafin). Jangan pernah berharap banyak akan kebahagian di dunia dan di akhirat, jika tidak melakukan kebaikan kemanusiaan, tidak jujur, tidak berdisiplin dan tidak menghargai kebhinekaan dalam balutan iman dan ketaqwaan.
Allahu Akbar 3x walillahilhamd.
Kaum Muslimin Sidang ‘Idil Fitri Rahimakumullah
Karakter kedua orang-orang yang beriman dan bertaqwa itu adalah mereka yang mempunyai kemampuan dan kecerdasan untuk mengelola kesadaran emosional termasuk di dalamnya perasaan amarah, benci dan dendam terhadap kejahatan dan kemaksiatan yang ia jadikan sebagai sebuah kekuatan untuk menata kehidupan masyarakat yang aman dan kondusif. Artinya, secara praksis bahwa orang-orang yang bertaqwa itu memiliki keberanian untuk mencegah kemungkaran dan berani untuk menegakkan kebenaran sesuai dengan tupoksi mereka masing-masing dalam pengabdiannya kepada masyarakat bangsa dan negara.
Menyahuti karakter kedua terlihat dalam makna ’Idul Fitri yaitu mengembalikan manusia kepada peran dasar, maksud dan tujuan Allah menciptakannya. Salah satu keistimewaan peran dasar itu adalah bahwa manusia sejak awal kejadiannya telah diberi Allah tuntutan berupa peran, fungsi dan tugas pokok yang jelas. Yaitu sebagai khalifah di muka bumi dalam rangka mengeksplorasi dan mendistribusikan sumberdaya alam untuk kepentingan umat manusia, dan sekaligus menjaga tatanan kehidupan agar terhindar dari berbagai kerusakan, baik moral spiritual maupun material. Oleh karena begitu pentingnya peran manusia hadir sebagai khlaifah sehingga kata kunci tujuan Allah menciptakan manusia disebut tidak kurang dari 10 kali dalam Alqur’an. Ulama-ulama tafsir memberi makna khalifah sebagai pemimpin, penguasa, pengelola dan pengganti Allah dalam menegakkan kehendakNya, dan menerapkan ketetapan-ketetapanNya, sebagaimana firman Allah yang berbunyi:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِوَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan orang-orang (para umara, pejabat dan pengusaha, cerdik cendekia dan para ulama) yang (mempunyai keberanian untuk) menyeru kepada kebajikan, menyuruh untuk berbuat yang makruf dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Q.S Ali Imran: 104)
Kita di Sumatera Utara saat ini merasa berterima kasih kepada para umara, khususnya kepada pihak Kepolisian Daerah Sumatera Utara, dibawah kepemimpinan Bapak Irjen Ridwan Zulkarnain Panca Putra Simanjuntak dengan seluruh jajarannya, yang telah melakukan pencegahan berbagai kemungkaran dan kemaksiatan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat Sumatera Utara, seperti judi, narkoba, begal, dan berbagai kejahatan kriminalitas lainnya. Tentu saja dengan upaya tegas pihak Kepolisian Daerah Sumatera Utara dalam mencegah kemungkaran dan menegakkan kebenaran akan dapatlah kita berharap masyarakat Sumatera Utara bisa menjalani rutinitas kehidupan, bisa beraktivitas mencari rezeki, dan bisa hidup berdampingan secara aman dan kondusif.
Disinilah peran kepemimpinan yang diharapkan dapat mengatur, menata dan memenej suatu pemerintahan yang bersih, demokratis, bermartabat dan religius, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dalam model Pemerintahan Madinah. Suatu kepemimpinan yang diinginkan oleh Alquran adalah suatu kepemimpinan yang berdasar pada azas kebenaran, kejujuran, keadilan (transparant dan accountable), dan kecerdasan. Apabila penguasaan sendi-sendi dasar kenegaraan dan keummatan tidak dimiliki oleh seorang pemimpin maka nantikanlah akan kehancuran masyarakat yang dipimpinnya. Disinilah peran juga peran serta masyarakat dituntut untuk aktif dalam menjaga jalannya roda pemerintahan agar benar-benar sesuai dengan amanat UUD negara dan sesuai dengan kehendak Allah SWT.
Suatu masyarakat yang madani, modern dan religius tidak akan pernah terbangun jika individu masyarakat, apalagi para pemimpinnya, tidak mengikatkan diri dengan nilai-niai takwa yang mengajarkan kepatuhan hukum, kejujuran, kearifan dan amanah dengan segala fakultas diri yang telah dianugrahkan oleh Allah SWT. Seorang pemimpin juga sangat diharapkan memiliki sense of social responsibility tinggi agar ia tidak membiarkan masyarakatnya dalam keadaan bodoh, lapar, sakit dan tidak punya masa depan. Namun kita juga tidak menginginkan para pemimpin hanya memabukkan masyarakat dengan ”opium retorika politik” yang hampa sehingga akhirnya masyarakat bukan bertambah maju dan sejahtera melainkan bertambah hina dan sengsara dalam kemiskinan multi dimensional. Oleh karena itu, jika para pemimpin, umara, pengusaha, cerdik cendekia dan para ulama jika tidak punya keberanian untuk meneggakkan harga diri (dignity) bangsa ini di atas kebenaran pelataran dunia, maka jangan heran jikalau nanti anak bangsa hari ini mengalami berbagai pelecehan baik secara struktural internal maupun dalam skala global.
Allahu Akbar 3x walillahilhamd.
Kaum Muslimin Sidang ‘Idul Fitri Rahimakumullah
Adapun karakter yang Ketiga adalah bahwa orang-orang yang beriman dan bertaqwa itu adalah mereka-mereka yang mempunyai kecerdasan untuk menjaga eleganitas relasi sosial. Karena kalimat wal’aafina ‘aninnaasi bukan hanya berarti mema’afkan atau meminta ma’af saja, walaupun yang kedua ini cukup berat jika kesalahan itu besar terlebih lagi ketika terkait dengan hukum dan harga diri, akan tetapi mereka juga cerdas menjaga berbagai bentuk hubungan relasi sosial, dan mereka juga berani memberikan penghargaan dan apresiasi dalam pluralitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, khususnya kita di Provinsi Sumatera Utara.
Orang-orang yang bertaqwa itu adalah orang-orang cinta pada persatuan, perdamaian dan dapat menghargai orang lain yang berbeda dengan mereka baik etnis, suku, ras dan warna kulit bahkan berbeda agama sekalipun. Karena mereka menyadari bahwa Islam adalah agama yang mewajibkan ummatnya untuk menjaga hubungan yang elegan, manis dan produktif demi terciptanya sebuah relasi kehidupan masyarakat yang berbahagia dan sejahtera dalam peradaban rahmatan lil ‘alamin. Karena orang-orang yang bertaqwa dipastikan sadar bahwa kehadiran Baginda Rasulullah SAW dengan berbagai perjuangan dan pengorbanannya adalah untuk membawa Rahmat bagi seluruh bentuk kehidupan.
Allahu akbar 3 x walillahil hamd
Kaum Muslimin dan Muslimat Sidang Idul Fitri Rahimakumullah
Dengan demikian, Idul Fitri sesungguhnya tidaklah sebatas berlebaran dengan berbagai aktifitas seremonial, akan tetapi terkandung makna yang dalam bahwa setelah sebulan ditempah di kawah candradimuka bulan Ramadan, kita kembali (ied, mudik) menemukan jati diri kita, sebagai hamba Allah yang suci dan mulia, memiliki keseimbangan dalam kehidupan dan hamba Allah yang membangun komunikasi vertikal dan horizontal dalam wujud kepedulian sosial kepada sesama. Diharapkan bulan Ramadan dengan berbagai keagungan, kemuliaan dan berokah yang terdapat didalamnya dapat memberi pencerahan dan peningkatan iman dan taqwa kita sehingga memantapkan niat dan tekad untuk terus memberikan yang terbaik dalam setiap pengabdian kita kepada bangsa dan negara.
Mengakhiri rangkaian ibadah Ramadan tahun 1444 H ini, mari setelah ini, kita sempurnakan dengan menyambung silaturrahim, saling memaafkan satu dengan yang lain dan yang terpenting adalah mari kita meningkatkan kualitas kerja-kerja ”ibadah” dalam rangka mencapai dua kebahagaian. Dihari yang suci ini juga, marilah kita bangun suasana baru, dengan ketulusan kita menghidupkan kembali rasa kasih sayang yang telah mati, sebab dengan ketulusan itulah rahmat Allah senantiasa menyertai tugas dan pengabdian kita di muka bumi ini. Amin ya rabbal alamin.***