Kondisi Perbankan Indonesia Kala Pandemi
Pandemi COVID-19 telah menghantam sendi-sendi perekonomian Indonesia. Resesi kembali dialami Indonesia pada 2020 setelah terakhir terjadi pada 1998. Sektor jasa keuangan dan asuransi, yang di dalamnya termasuk perbankan, pun tak luput dari imbas ini.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), sektor jasa keuangan dan asuransi mengalami minus 10,3 persen secara tahunan (year-on-year/y-o-y) pada kuartal II/2020 sebelum tumbuh kembali sebesar 2,59 persen y-o-y pada kuartal III/2020. Walau kondisi sudah relatif membaik, jalan menuju pemulihan sektor perbankan masih terjal. Lembaga pemeringkat S&P Global Ratings bahkan merevisi prospek utang jangka panjang Indonesia, dari “stabil” menjadi “negatif” pada April 2020.
Artinya, Indonesia kini memiliki profil risiko yang tinggi dan kelayakan kredit yang rendah. “Prospek negatif mencerminkan ekspektasi kami bahwa Indonesia menghadapi risiko fiskal dan eksternal tambahan terkait pandemi COVID-19 dalam 24 bulan ke depan,” kata lembaga pemeringkat tersebut melalui keterangan tertulisnya pada 17 April 2020.
Dalam analisisnya pada 23 September 2020, S&P Global Ratings juga menempatkan sistem perbankan Indonesia baru akan pulih pada tahun 2023, relatif lambat jika dibandingkan sejumlah negara lainnya. Prospek yang tampak ‘suram’ ini mendorong adanya upaya ekstra dari regulator agar kestabilan sektor perbankan tetap terjaga dalam perjalanan Indonesia menuju pemulihan ekonomi nasional.
Bagaimana sebenarnya kondisi kesehatan bank saat ini? Dan sejauh mana peran regulator dalam menjaga kestabilan sektor perbankan? Baca juga: OJK Catat Rasio Kredit Bermasalah Perbankan pada 2020 Tembus 3,06% Cenderung Stabil Para regulator saat ini menilai kondisi perbankan masih cenderung stabil, meskipun dalam situasi krisis akibat pandemi COVID-19 dan pertumbuhan kredit nasional mengalami kontraksi -2,41 persen di 2020.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso menyebut kenaikan kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) gross saat ini sebenarnya bisa lebih tinggi lagi. Data OJK menunjukkan bahwa NPL gross selama 2020 mencapai 3,06 persen, naik dari NPL gross 2019 yang mencapai 2,5 persen dan NPL gross 2018 yang mencapai 2,37.
Ia menilai, OJK telah berhasil menahan kenaikan NPL dengan kebijakan POJK 11/2020 yang mengatur tentang restrukturisasi kredit. “Kebijakan ini bisa menahan NPL perbankan tidak terlalu tinggi pada level 3,06 persen,” ucap Wimboh dalam pertemuan tahunan industri jasa keuangan 2021 secara virtual pada 15 Januari 2020.